LEPTOSPIROSIS
I. PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh kuman leptospira patogen. Gejala leptospirosis mirip dengan
penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis, demam
dengue, deman berdarah dengue dan demam virus lainnya. Kuman leptospira masuk
ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva
atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan
dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang
terkontaminasi.
Banjir besar di Jakarta tahun 2002,
diketemukan 113 pasien leptospirosis dan 20 orang meninggal. Leptospirosis
sering kali tidak terdiagnosis karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit
dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa
leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan
leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious
diseases.
Mengingat hal tersebut di atas, akan
bahaya leptospirosis sehinga perlu sosialisasi pedoman tatalaksana kasus dan
pemeriksaan laboratorium leptospirosis di rumah sakit.
Penyakit leptospirosis mempunyai sinonim
(nama lain): Autumnal fever, Conical fever, Canine typhus, Cane cutter’s fever,
Flood fever, haemorrhagic jaundice, Icteric leptospirosis, Mud fever, Redwater
of calves, Rice field fever, Stuttgard disease, Swamp fever, Swineherd’s
disease, Trench fever dan demam kemih tikus.
II. PATOGENESIS
Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh
penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh
yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk
melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski
jarang ditemukan, leptospirosis pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira
melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir. Infeksi melalui selaput
lendir lambung jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman
leptospira. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan
dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari
infeksi. Organisme virulen mengalami mengalami multiplikasi di darah dan
jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh
darah kecil; sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan
ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang paling penting adalah
perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selluler. Lipopolysaccharide
(LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan
endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi
trombosit disertai trombositopenia. Kuman leptospira mempunyai fosfolipase
yaitu hemolisin yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang
mengandung fosfolipid.
Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo, toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus.
Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo, toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan
menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga
menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh kerusakan
sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang
mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya
sekresi bilirubin.
Conjungtival suffusion khususnya
perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini sering
dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa uveitis,
iritis dan iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular.
Keberadaan kuman leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik
berulang.
Kuman leptospira difagosit oleh sel-sel
sistem retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah organisme
semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam darah.
Kuman leptospira akan dieleminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus
proksimal ginjal, dan mungkin otak dimana kuman leptospira dapat menetap selama
beberapa minggu atau bulan.
III. GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Gambaran patologi leptospirosis ditandai
dengan terjadinya vaskulitis, kerusakan endotel, dan infiltrasi inflamasi yang
terdiri dari sel monosit, sel plasma, histosit dan netrifil. Gambaran histologi
leptospirosis yang mencolok yaitu kerusakan hati, ginjal, jantung dan paru.
a) Kerusakan hati akibat nekrosis
sentrilobular yang disertai proliferasi sel kupffer. Sering ditemukan adanya
disosiasi sel-sel hati, degenerasi sitoplasma, inti sel-sel parenkim mengecil
dan infiltrasi mononukleus pada daerah portal.
b) Kerusakan ginjal lebih nyata dibandingkan
dengan kerusakan hati, yaitu edema, dan perdarajhan di medula. Adanya gambaran
nefritis interstisial yang berlanjut menjadi nekrosis tubulus pada kasus berat.
Silinder protein, pigmen darah, eritrosit dan sisa sel tubulus dapat ditemukan
di medula tubulus.
c) Invasi otot rangka oleh kuman leptospira
mengakibatkan timbulnya pembengkakan, vakuolisasi miofibril, nekrosis fokal,
infiltrasi histiosit, netrofil dan sel plasma leptospira, misalnya pada otot
gastroknemius.
d) Kerusakan pada jantung ditandai dengan
petekie di endokardium dan epikardium, serabut otot sembah, disertai
vakuolisasi, degenerasi dan infiltrasi sel radang. Pada beberapa kasus terjadi
miokarditis toksik atau endokarditis akut.
e) Kerusakan pada paru bervariasi dari inflamasi
intetstisial setempat disertai eksravasasi hingga infiltrasi bronkopneumonik
luas.
IV. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik dengan masa inkubasi
berkisar antara 7 -12 hari dengan rerata 10 hari. Menurut tingkat keparahan
penyakit, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk
pendekatan diagnosis klinik dan penangannya, para ahli membagi penyakit
leptospirosis menjadi: leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik.
Leptospirosis anikterik :
Manifestasi klinik sebagian besar
leptospirosis adalah anikterik, diperkirakan mencapai 90 % dari seluruh kasus
leptospirosis di masyarakat. Bila ditemukan satu kasus leptospirosis berat,
diperkirakan 10 kasus leptospirosis anikterik atau ringan. Perjalanan penyakit
leptospirosis antikterik maupun ikterik umumny leptospiraa bifasik karena
mempunyai 2 fase / stadium yaitu fase leptospiremia/fase septikemia dan fase
imun, yang dipisahkan oleh periode asimtomatik. (tabel 1)
Leptospirosis timbul mendadak dengan gejala:
Ø Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat
remiten; Nyeri kepala; Menggigil; Mialgia; Mual; muntah dan anoreksia; Nyeri
kepala dapat berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri
retro-orbital dan fotopobia; Nyeri otot terutama di daerah betis sehingga
pasien sukar berjalan, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan
otot sehingga kreatinin fosfokinase akan meningkat, dan pemeriksaan kreatinin
fosfokinase dapat membantu diagnosis klinik leptospirosis.
Ø Adanya canjungtival suffision dan nyeri tekan di
daerah betis. Lemfodenopati, splenomegali, hepatomegali dan ruam makulopapular
dapat ditemukan meskipun jarang.Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis
dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Ø Manifestasi klinik terpenting leptospirosis
anikterik adalah meningitis leptospiraaseptik yang tidak spesifik sehingga
sering tidak terdiagnosis. Pleiositosis pada cairan serebrospinal ditemukan
pada 80 % pasien, meskipun hanya 50 % yang menunjukkan tanda dan gejala klinik
meningitis aseptik.
Pasien leptospirosis anikterik jarang
diberi obat, karena keluhannya ringan, gejala klinik akan hilang dalam kurun
waktu 2 sampai 3 minggu. Manifestasi klinik menyerupai penyakit demam akut
lain, oleh karena itu pada setiap kasus dengan keluhan demam, harus selalu
dipikirkan leptospirosis anikterik sebagai salah satu diagnosis bandingnya,
terutama di daerah endemik dan pasca banjir.
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab
utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan
Malaysia. Mortalitas pada leptospirosis anikterik hampir nol, meskipun pernah
dilaporkan kasus leptospirosis yang meninggal akibat perdarahan masif paru
dalam suatu wabah di cina.
Pada tes pembendungan dapat positif,
sehingga pasien leptospirosis anikterik pada awalnya di diagnosis sebagai
pasien dengan infeksi dengue.
Leptospirosis ikterik:
Pada leptospirosis ikterik, demam dapat
persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang tindih dengan
fase septikemia. Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah
kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan
kecepatan memperoleh terapi yang tepat.
Pasien tidak mengalami kerusakan
hepatoselular, bilirubin meningkat, kadar enzim transaminase serum hanya
sedikit meningkat, fungsi hati kembali normal setelah pasien sembuh. Komplikasi
yang terjadi pada leptospirosis merefleksikan leptospirosis sebagai suatu
penyakit multisistem. Leptospirosis sering menyebabkan gagal ginjal akut,
ikterik dan manifestasi perdarahan, yang merupakan gambaran klinik khas
penyakit Weil.
Pada leptospirosis berat, abnormalitas
pencitraan paru sering dijumpai meskipun pada pemeriksaan fisik belum
dityemukan kelainan. Kelainan timbul pada hari ke 3 sampai 9 perjalanan
penyakit. Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy alveolar
pattern yang berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi
pleura. Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru
bagian bawah.
Komplikasi berat seperti miokarditis
hemoragik, kegagalan fungsi beberapa organ, perdarahan masih dan Adult
Respiratory Distress Syndromes (ARDS) merupakan penyebab utama kematian yang
hampir semuanya terjadi pada pasien-pasien dengan leptospirosis ikterik.
Penyebab kematian leptospirosis berat adalah koma uremia, syok septikemia,
gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik. Faktor-faktor prognostik yang
berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis adalah oliguria terutama
oliguria rrnal, hiperkalemia, hipotensi, ronki basah paru, sesak nafas,
leukositosis > 12.900 per mm3 , kelainan Elektrokardiografi (EKG)
menunjukkan repolarisasi, dan adanya infiltrasi pada foto pencitraan paru.
Pasien leptospirosis berat (ikterik, gagal
ginjal, manifestasi perdarahan, gangguan kesadaran akibat uremia) dapat
menunjukkan gambaran klinik yang mirip dengan malaria falciparum berat ( demam,
ikterik, gagal ginjal, manifestasi perdarahan, kesadaran menurunakibat malaria
serebral), haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS) yang disebabkan oleh
infeksi hantavirus tipe Dobrava (demam, gagal ginjal, manifestasi perdarahan,
injeksi subkonjungtiva, kadang-kadang ikterik, dan demam tifoid berat dengan
komplikasi ganda (sindrom septikemia, ikterik, azotemia, tendensi perdarahan,
soporokoma).
Kelainan gambaran EKG ditemukan > 50 %
pasien leptospirosis dalam 24 jam pertaama dalam perawatan di rumah sakit, dan
yang tersering adalah blok artrioventrikular derajat I, dan fibrilasi atrium.
Hipotensi sering dijumpai pada pasien
leptospirosis leptospirosissaat masuk rumah sakit, dan mayoritas pasien dengan
hipotensi, dan mengalami gangguan fungsi ginjal.
Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada
anak. Hal ini mungkin diasebabkan karena tidak terdiagnosis atau karena manifestasi
klinis yang berbeda dengan orang dewasa. Pada kasus berat dijumpai miokarditis,
ruam deskuamasi yang menyerupai penyakit Kawasaki, dengan perdarahan paru.
Manifestasi klinis pada kasus ringan adalah demam dan gastroenteritis.
V. DIAGNOSIS KLINIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Langkah untuk menegakkan diagnosis
dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Pola klinis leptospirosis di beberapa rumah sakit tidak sama, tergantung dari :
jenis kuman leptospira, kekebalan seseorang, kondisi lingkungan dan lain-lain.
A. Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan
yang dirasakan dan data bepidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan
dengan lingkungan pasien.
Identitas pasien ditanyakan: nama,umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis.
Identitas pasien ditanyakan: nama,umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis.
B. Pemeriksaan fisik
Gejala klinik menonjol yaitu: ikterik,
demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival suffusion.
Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan. Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hiri ke 3 selambatnya hari ke 7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring; faring terlihat merah dan bercak-bercak.
Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan. Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hiri ke 3 selambatnya hari ke 7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring; faring terlihat merah dan bercak-bercak.
Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot
betis akan menimbulkan nyeri hebat dan hiperestesi kulit.
Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu:
hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang meningeal, hipotensi, ronki
paru dan adanya diatesis hemoragi. Diatesis hemoragi timbul akibat proses
vaskulitis difus di kapiler disertai hipoprotrombinemia dan trombositopenia,
uji pembendungan dapat positif. Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis
ikterik dan manifestasi dapat terlihat sebagai petekie, purpura, perdarahan
konjungtiva, dan ruam kulit. Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula,
makulopapula ataupun urtikaria generalisata maupun setempat pada badan, tulang
kering atau tempat lain.
C. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium umum
Termasuk pemeriksaan laboratorium umum
yaitu:
1) Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai
leukositosis, normal atau menurun, hitung jenis leukosit, terdapat peningkatan
jumlah netrofil. Leukositosis dapat mencapai 26.000 per mm3 pada keadaan
anikterik.
Morfologi darah tepi terlihat mielosit
yang menandakan gambaran pergeseran ke kiri.
Faktor pembekuan darah normal. Masa
perdarahan dan masa pembekuan umumnya normal, begitu juga fragilitas osmotik
eritrosit keadaannya normal. Masa protrombin memanjang pada sebagian pasien
namun dapat dikoreksi dengan vitamin K. Trombositopenia ringan 80.000 per mm3
sampai 150.000 per mm3 terjadi pada 50 % pasien dan berhubung dengan gagal
ginjal, dan pertanda penyakit berat jika hitung trombosit sangat rendah yaitu
5000 per mm 3. Laju endapan darah meningi, dan pada kasus berat ditemui anemia
hipokromia mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadi pada stidium lanjut
perjalanan penyakit.
2) Pemeriksaan fungsi ginjal
Pada pemeriksaan urin terdapat albuminuria
dan peningkatan silinder ( hialin, granuler ataupun selular) pada fase dini
kemudian menghilang dengan cepat. Pada keadaan berat terdapat pula bilirubinuria,
yang dapat mencapai 1 g/hari dengan disertai piuria dan hematuria. Gagal ginjal
kemungkinan besar akan dialami semua pasien ikterik. Ureum darah dapat dipakai
sebagai salah satu faktor prognostik, makin tinggi kadarnya makin jelek
prognosa. Peningkatan ureum sampai di atas 400 mg/dL. Proses perjalanan gagal
ginjal berlangsung progresif dan selang 3 hari kemudian akan terjadi anuri
total. Ganguan ginjal pada pasien penyakit Weil ditemukan proteinuria serta
azotemia, dan dapat terjadi juga nekrosis tubulus akut. Oliguria: produksi urin
kurang dari 600 mL/hari; terjadi akibat dehidrasi, hipotensi.
3) Pemeriksaan fungsi hati
Pada umumnya fungsi hati normal jika
pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterik disebabkan karena bilirubin direk
meningkat. Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan meningkatnya serum
transaminase (serum glutamic oxalloacetic transaminase = SGOT dan serum
glutamic pyruvate transaminase = SGPT). Peningkatannya t idak pasti, dapat
tetap normal ataupun meningkat 2 – 3 kali nilai normal. Berbeda dengan
hepatitis virus yang selalu menunjukkan peningkatan bermakna SGPT dan SGOT.
Kerusakan jaringan otot menyebabkan kreatinin fosfokinase juga meningkat.
Peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata mencapai
5 kali nilai normal. Pada infeksi hepatitis virus tidak dijumpai peningkatan
kadar enzim kreatinin fosfokinase.
b. Pemeriksaan
laboratorium khusus
Pemeriksaan laboratorium khusus untuk
mendeteksi keberadaan kuman leptospira dapat secara langsung dengan mencari
kuman leptospira atau antigennya dan secara tidak melalui pemeriksaan antibodi
terhadap kuman leptospira dengan uji serologis
1) Pemeriksaan langsung:
a) Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi
kuman leptospira dalam darah, cairan prtoneal dan eksudat pleura dalam minggu
pertama sakit, khususnya antara hari ke 3 – 7, dan di dalam urin pada minggu ke
dua, untuk diagnosis definitif leptospirosis.
Spesimen urin diambil dengan kateter,
punksi supra pubik dan urin aliran tengah, diberi pengawet formalin 10 % dengan
perbandingan 1:4. Bila jumlah spesimen banyak dilakukan dua kali pemusingan
untuk memperbesar peluang menemukan kuman leptospira. Pemusingan pertama
dilakukan pada kecepatan rendah, misalnya 1000 g selama 10 menit untuk membuang
sel, dilanjutkan dengan pemusingan pada kecepatan tinggi antara 3000 – 4000 g
selama 20 – 30 menit agar kuman leptospira terkonsentrasi, kemudian satu tetes
sedimen (10 -20 mL) diletakkan di atas kaca obyek bersih dan diberi kaca
[penutup agar tersebar rata.
Selain itu dapat dipakai pewarnaan
Romanowsky jenis Giemsa, dan pewarnaan perak yang hasilnya lebih baik dibanding
Gram dan Giemsa (kuman leptospira lebih jelas terlihat).
Pewarnaan imunofluoresein lebih disukai
dari pada pewarnaan perak karena kuman leptospira lebih muda terlihat dan dapat
ditentukan jenis serovar. Kelebihan pewarnaan imunofluoresein dapat dicapai
tanpa mikroskop fluoresein dengan memakai antibodi yang telah dilabel enzim,
seperti fosfotase dan peroksidase atau logam seperti emas.
b) Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi
polimerase berantai untuk deteksi DNA kuman leptospira spesifik dapat dilakukan
dengan memakai primer khusus untuk memperkuat semua strain patogen. Spesimen
dari 2 ml serum, 5 mL darah tanpa antikoagulan dan 10 mL urin.
C, dry°Spesimen tersebut
dikirim pada suhu – 70 C dalam waktu singkat. Urin dikirim°ice, atau suhu 4 C.°pada suhu 4
c) Biakan
Spesimen diambil sebelum pemberian
antibiotik. Hasil optimal bila darah, cairan serebrospinal, urin dan jaringan
postmortem segera ditanam ke media, kemudian dikirim ke laboratorium pada suhu
kamar.
d) Inokulasi hewan percobaan
Kuman leptospira virulen dapat menginfeksi
hewan percobaan, oleh karena itu hewan dapat dipakai untuk isolasi primer kuman
leptospira. Umumnya dipakai golden hamsters (umur 4 – 6 minggu) dan marmut muda
( 150 – 175 g), yang bukan karier kuman leptospira.
2) Pemeriksaa tidak langsung / serologi
Berbagai jenis uji
serologi dapat dilihat seperti pada tabel 4.
Jenis uji serologi:
· Microscopic agglutination test (MAT) Microscopic
slide agglutination test (MSAT)
· Uji carik celup:
Ø LEPTO Dipstick
Ø LeptoTek Lateral Flow
Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
· Aglutinasi lateks Kering
· (LeptoTek Dri – Dot) Microcapsule agglutination
test
· Indirect fluorescent antibody test (IFAT) Patoc –
slide agglutination test (PSAT)
· Indirect haemagglutination test (IHA) Sensitized
erythrocyte lysis test (SEL)
· Uji Aglutinasi lateks Counterimmunelectrophoresis
(CIE)
· Complement fixation Test (CFT)
D. Penegakkan diagnosis
Diagnosis Leptospirosis dapat ditegakkan
atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:
Suspek, bila ada gejala
· klinis, tanpa dukungan uji laboratorium. Diagnosis
menurut Faine dengan menggunakan nilai skor berdasarkan gejala klinis dan data
epidemiologi, sekarang tidak dianjurkan lagi, karena pasien dengan nilai skor
rendah, pemeriksaan kultur dapat positif atau sebaliknya.
· Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis
dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot
positif.
Definitif, bila:
1) Ditemukan kuman leptospira atau antigen
kuman leptospira dengan pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan atau
reaksi polimerase berantai.
2) Gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan
didukung dengan hasil uji MAT serial yang menunjukkan adnya serokonversi atau
peningkatan titer 4 kali atau lebih, atau IgM ELISA positif.
E. Diagnosis banding
Leptospirosis anikterik: influensa, demam
dengue dan demam berdarah dengue, infeksi virus hanta, demam kuning,
riketsiosis, boreliosis, bruselosis, malaria, pielonefritis, meningitis
aseptik, keracunan bahan kimia, keracunan makanan, demam tifoid dan penyakit
demam enterik lain, Fever of known origin (FUO), serokonversi HIV primer,
penyakit legioner, dan infeksi virus/bakteri lain.
Leptospirosis ikterik: malaria falciparum
berat, hepatitis virus, demam tifus dengan komplokasi ganda, haemorrhagic fever
with renal failure, demam berdarah virus lain dengan komplikasi.
VI. TERAPI
Kuman leptospira sensitif terhadap
sebagian besar antibiotika, terkecuali vakomisin, rafampisin dan mitronidasol.
Pemantauan fungsi jantung perlu dilakukan
pada hari pertama rawat inap dengan mencakup aspek terapi kausatif, simtomatik
dan suportif.
Terapi leptospirosis ringan
1. Pemberian antipiretik, terutama apabila demmamnya
melebihi 38 C.
2. Pemberian antibiotik-antikuman leptospira.
Pada leptospirosis ringan diberikan terapi:
· Doksisiklin 100 mg yang diberikan 2 kaliv sehari, selama 7
hari, pada anak di atas 8 tahun: 2 mg/Kg/hari (maksimal 100 mg)
· Ampisilin 500 –v 750 mg yang diberikan
4 kali sehari per oral
· Amoksisilin 500 mg
yang diberikan 4 kali sehari per oral.
Terapi leptospirosis berat
1. Pemberian antipiretik.
2. Pemberian Nutrisi dan cairan
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan,
karena nafsu makan pasien menurun, sehingga asupan nutrisi berkurang. Kalori
diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen, dengan perhitungan:
Berat badan 0 – 10 kg : 100
kalori/kgBB/hari
Berat badan 20 – 30 kg : ditambahkan 50
kalori/kgBB/hari
Berat badan 30 – 40 kg : ditambahkan 25
kalori/kgBB/hari
Berat badan 40 – 50 kg : ditambahkan 10
kalori/kgBB/hari
Berat badan 50 – 60 kg : ditambahkan 5
kalori/kgBB/hari
Karbohidrat diberikan dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein yang cukup mengandung asam amino esensial, diberikan sebanyak 0,2 – 0,5 gram/kgBB/ hari.. Pada pasien dengan muntah hebat atau tidak mau makan, diberikan makanan secara parenteral ( tersedia kemasan cairan infus yang praktis, cukup kandungan nutrisinya)
Pemberian antibiotik :
Prokain penisilin 6 – 8 juta unit sehari
yang diberikan 4 kali sehari intramuskular
Ampisilin 1 gram yangv diberikan 4 kali
sehari intravena
Amoksisilin 1 gram yang diberikan 4 kali
sehari intravena
Antibiotik pada anak:
Prokain penesilin 50.000 IU/kg BB;
maksimal 2 juta IU sehari yang diberikan 4 kali sehari intramuskular
Doksisiklin pada anak >8 tahun: 2 mg/kgBB;
maksimal 100 mg sehari yang diberikan 2 kali sehari per oral.
Pananganan khusus:
a. Hiperkalemia : Merupakan keadaan yang harus segera
ditangani, karena menyebabkan cardiac arrest;
b. Asidosis metabolik;
c. Hipertensi: perlu diberikan anti hipertensi.;
d. Gagal jantung: pembatasan cairan, digitalis dan
diuretik;
e. Perdarahan diatasi dengan transfusi.
Diagnosis is suspect (hanya didukung oleh
gejala klinis&riwayat pajanan) Demam, cojunctival suffusion,
nkaku&nyeri otot (betis dan paha) Ikterik, sakit kepala, menggigil,
oliguria,anuria kaku kuduk,dll. Ditambah: riwayat pajanan dengan
hewan/lingkungan terkontaminasi urin hewan faktor resiko transmisi
leptospirosis
Diagnosis Probable: Diagnosis suspect didukung tes serologi penyaringan positif
Diagnosis is Confirmed: Peningkatan titer serial 4 atau serokonversi MAT atau ELISA IgM (+)Azotemia
Diagnosis Probable: Diagnosis suspect didukung tes serologi penyaringan positif
Diagnosis is Confirmed: Peningkatan titer serial 4 atau serokonversi MAT atau ELISA IgM (+)Azotemia
VII. PENCEGAHAN
Pencegahan penularan kuman leptospira
dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi yang meliputi:
1) Intervensi sumber infeksi;
2) Intervensi pada jalur penularan ;
3) Intervensi pada pejamu manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes R.I. 2003. Pedoman
tatalaksanan kasus dan pemeriksaan laboratorium leptospirosis di rumah sakit.
Ditjen PPM-PL Jakarta, RSPI DR SS
Faine, S. 1982. Guidelines
for the control of leptospirosis. Geneva: WHO Offset Publication No. 67l
Gasem, MH. 2003. Gambaran
klinik dan diagnosis leptospirosis pada manusia. Dalam: Riyanto B, Gasem
MH, Sofro M AU Editor: Kumpulan makalah symposium leptospirosis. Cetakan
pertama.Badan penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar