Minggu, 12 Februari 2012

LEPTOSPIROSIS


LEPTOSPIROSIS

I. PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman leptospira patogen. Gejala leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis, demam dengue, deman berdarah dengue dan demam virus lainnya. Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi.
Banjir besar di Jakarta tahun 2002, diketemukan 113 pasien leptospirosis dan 20 orang meninggal. Leptospirosis sering kali tidak terdiagnosis karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious diseases.
Mengingat hal tersebut di atas, akan bahaya leptospirosis sehinga perlu sosialisasi pedoman tatalaksana kasus dan pemeriksaan laboratorium leptospirosis di rumah sakit.
Penyakit leptospirosis mempunyai sinonim (nama lain): Autumnal fever, Conical fever, Canine typhus, Cane cutter’s fever, Flood fever, haemorrhagic jaundice, Icteric leptospirosis, Mud fever, Redwater of calves, Rice field fever, Stuttgard disease, Swamp fever, Swineherd’s disease, Trench fever dan demam kemih tikus.
II. PATOGENESIS
Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang ditemukan, leptospirosis pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir. Infeksi melalui selaput lendir lambung jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil; sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang paling penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selluler. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia. Kuman leptospira mempunyai fosfolipase yaitu hemolisin yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.
Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo, toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin.
Conjungtival suffusion khususnya perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini sering dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa uveitis, iritis dan iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular. Keberadaan kuman leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik berulang.
Kuman leptospira difagosit oleh sel-sel sistem retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam darah. Kuman leptospira akan dieleminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal, dan mungkin otak dimana kuman leptospira dapat menetap selama beberapa minggu atau bulan.
III. GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Gambaran patologi leptospirosis ditandai dengan terjadinya vaskulitis, kerusakan endotel, dan infiltrasi inflamasi yang terdiri dari sel monosit, sel plasma, histosit dan netrifil. Gambaran histologi leptospirosis yang mencolok yaitu kerusakan hati, ginjal, jantung dan paru.
a) Kerusakan hati akibat nekrosis sentrilobular yang disertai proliferasi sel kupffer. Sering ditemukan adanya disosiasi sel-sel hati, degenerasi sitoplasma, inti sel-sel parenkim mengecil dan infiltrasi mononukleus pada daerah portal.
b) Kerusakan ginjal lebih nyata dibandingkan dengan kerusakan hati, yaitu edema, dan perdarajhan di medula. Adanya gambaran nefritis interstisial yang berlanjut menjadi nekrosis tubulus pada kasus berat. Silinder protein, pigmen darah, eritrosit dan sisa sel tubulus dapat ditemukan di medula tubulus.
c) Invasi otot rangka oleh kuman leptospira mengakibatkan timbulnya pembengkakan, vakuolisasi miofibril, nekrosis fokal, infiltrasi histiosit, netrofil dan sel plasma leptospira, misalnya pada otot gastroknemius.
d) Kerusakan pada jantung ditandai dengan petekie di endokardium dan epikardium, serabut otot sembah, disertai vakuolisasi, degenerasi dan infiltrasi sel radang. Pada beberapa kasus terjadi miokarditis toksik atau endokarditis akut.
e) Kerusakan pada paru bervariasi dari inflamasi intetstisial setempat disertai eksravasasi hingga infiltrasi bronkopneumonik luas.
IV. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik dengan masa inkubasi berkisar antara 7 -12 hari dengan rerata 10 hari. Menurut tingkat keparahan penyakit, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinik dan penangannya, para ahli membagi penyakit leptospirosis menjadi: leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik.

Leptospirosis anikterik :
Manifestasi klinik sebagian besar leptospirosis adalah anikterik, diperkirakan mencapai 90 % dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat. Bila ditemukan satu kasus leptospirosis berat, diperkirakan 10 kasus leptospirosis anikterik atau ringan. Perjalanan penyakit leptospirosis antikterik maupun ikterik umumny leptospiraa bifasik karena mempunyai 2 fase / stadium yaitu fase leptospiremia/fase septikemia dan fase imun, yang dipisahkan oleh periode asimtomatik. (tabel 1)
Leptospirosis timbul mendadak dengan gejala:
Ø Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten; Nyeri kepala; Menggigil; Mialgia; Mual; muntah dan anoreksia; Nyeri kepala dapat berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan fotopobia; Nyeri otot terutama di daerah betis sehingga pasien sukar berjalan, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase akan meningkat, dan pemeriksaan kreatinin fosfokinase dapat membantu diagnosis klinik leptospirosis.
Ø Adanya canjungtival suffision dan nyeri tekan di daerah betis. Lemfodenopati, splenomegali, hepatomegali dan ruam makulopapular dapat ditemukan meskipun jarang.Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Ø Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis leptospiraaseptik yang tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis. Pleiositosis pada cairan serebrospinal ditemukan pada 80 % pasien, meskipun hanya 50 % yang menunjukkan tanda dan gejala klinik meningitis aseptik.
Pasien leptospirosis anikterik jarang diberi obat, karena keluhannya ringan, gejala klinik akan hilang dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu. Manifestasi klinik menyerupai penyakit demam akut lain, oleh karena itu pada setiap kasus dengan keluhan demam, harus selalu dipikirkan leptospirosis anikterik sebagai salah satu diagnosis bandingnya, terutama di daerah endemik dan pasca banjir.
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Mortalitas pada leptospirosis anikterik hampir nol, meskipun pernah dilaporkan kasus leptospirosis yang meninggal akibat perdarahan masif paru dalam suatu wabah di cina.
Pada tes pembendungan dapat positif, sehingga pasien leptospirosis anikterik pada awalnya di diagnosis sebagai pasien dengan infeksi dengue.
Leptospirosis ikterik:
Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang tindih dengan fase septikemia. Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat.
Pasien tidak mengalami kerusakan hepatoselular, bilirubin meningkat, kadar enzim transaminase serum hanya sedikit meningkat, fungsi hati kembali normal setelah pasien sembuh. Komplikasi yang terjadi pada leptospirosis merefleksikan leptospirosis sebagai suatu penyakit multisistem. Leptospirosis sering menyebabkan gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan, yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.
Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai meskipun pada pemeriksaan fisik belum dityemukan kelainan. Kelainan timbul pada hari ke 3 sampai 9 perjalanan penyakit. Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy alveolar pattern yang berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi pleura. Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru bagian bawah.
Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, kegagalan fungsi beberapa organ, perdarahan masih dan Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS) merupakan penyebab utama kematian yang hampir semuanya terjadi pada pasien-pasien dengan leptospirosis ikterik. Penyebab kematian leptospirosis berat adalah koma uremia, syok septikemia, gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik. Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis adalah oliguria terutama oliguria rrnal, hiperkalemia, hipotensi, ronki basah paru, sesak nafas, leukositosis > 12.900 per mm3 , kelainan Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan repolarisasi, dan adanya infiltrasi pada foto pencitraan paru.
Pasien leptospirosis berat (ikterik, gagal ginjal, manifestasi perdarahan, gangguan kesadaran akibat uremia) dapat menunjukkan gambaran klinik yang mirip dengan malaria falciparum berat ( demam, ikterik, gagal ginjal, manifestasi perdarahan, kesadaran menurunakibat malaria serebral), haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS) yang disebabkan oleh infeksi hantavirus tipe Dobrava (demam, gagal ginjal, manifestasi perdarahan, injeksi subkonjungtiva, kadang-kadang ikterik, dan demam tifoid berat dengan komplikasi ganda (sindrom septikemia, ikterik, azotemia, tendensi perdarahan, soporokoma).
Kelainan gambaran EKG ditemukan > 50 % pasien leptospirosis dalam 24 jam pertaama dalam perawatan di rumah sakit, dan yang tersering adalah blok artrioventrikular derajat I, dan fibrilasi atrium.
Hipotensi sering dijumpai pada pasien leptospirosis leptospirosissaat masuk rumah sakit, dan mayoritas pasien dengan hipotensi, dan mengalami gangguan fungsi ginjal.
Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada anak. Hal ini mungkin diasebabkan karena tidak terdiagnosis atau karena manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa. Pada kasus berat dijumpai miokarditis, ruam deskuamasi yang menyerupai penyakit Kawasaki, dengan perdarahan paru. Manifestasi klinis pada kasus ringan adalah demam dan gastroenteritis.
V. DIAGNOSIS KLINIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Langkah untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis di beberapa rumah sakit tidak sama, tergantung dari : jenis kuman leptospira, kekebalan seseorang, kondisi lingkungan dan lain-lain.
A. Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data bepidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan pasien.
Identitas pasien ditanyakan: nama,umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis.
B. Pemeriksaan fisik
Gejala klinik menonjol yaitu: ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival suffusion.
Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan. Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hiri ke 3 selambatnya hari ke 7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring; faring terlihat merah dan bercak-bercak.
Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat dan hiperestesi kulit.
Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu: hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang meningeal, hipotensi, ronki paru dan adanya diatesis hemoragi. Diatesis hemoragi timbul akibat proses vaskulitis difus di kapiler disertai hipoprotrombinemia dan trombositopenia, uji pembendungan dapat positif. Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan manifestasi dapat terlihat sebagai petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan ruam kulit. Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun urtikaria generalisata maupun setempat pada badan, tulang kering atau tempat lain.
C. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium umum
Termasuk pemeriksaan laboratorium umum yaitu:
1) Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukositosis, normal atau menurun, hitung jenis leukosit, terdapat peningkatan jumlah netrofil. Leukositosis dapat mencapai 26.000 per mm3 pada keadaan anikterik.
Morfologi darah tepi terlihat mielosit yang menandakan gambaran pergeseran ke kiri.
Faktor pembekuan darah normal. Masa perdarahan dan masa pembekuan umumnya normal, begitu juga fragilitas osmotik eritrosit keadaannya normal. Masa protrombin memanjang pada sebagian pasien namun dapat dikoreksi dengan vitamin K. Trombositopenia ringan 80.000 per mm3 sampai 150.000 per mm3 terjadi pada 50 % pasien dan berhubung dengan gagal ginjal, dan pertanda penyakit berat jika hitung trombosit sangat rendah yaitu 5000 per mm 3. Laju endapan darah meningi, dan pada kasus berat ditemui anemia hipokromia mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadi pada stidium lanjut perjalanan penyakit.
2) Pemeriksaan fungsi ginjal
Pada pemeriksaan urin terdapat albuminuria dan peningkatan silinder ( hialin, granuler ataupun selular) pada fase dini kemudian menghilang dengan cepat. Pada keadaan berat terdapat pula bilirubinuria, yang dapat mencapai 1 g/hari dengan disertai piuria dan hematuria. Gagal ginjal kemungkinan besar akan dialami semua pasien ikterik. Ureum darah dapat dipakai sebagai salah satu faktor prognostik, makin tinggi kadarnya makin jelek prognosa. Peningkatan ureum sampai di atas 400 mg/dL. Proses perjalanan gagal ginjal berlangsung progresif dan selang 3 hari kemudian akan terjadi anuri total. Ganguan ginjal pada pasien penyakit Weil ditemukan proteinuria serta azotemia, dan dapat terjadi juga nekrosis tubulus akut. Oliguria: produksi urin kurang dari 600 mL/hari; terjadi akibat dehidrasi, hipotensi.
3) Pemeriksaan fungsi hati
Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterik disebabkan karena bilirubin direk meningkat. Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan meningkatnya serum transaminase (serum glutamic oxalloacetic transaminase = SGOT dan serum glutamic pyruvate transaminase = SGPT). Peningkatannya t idak pasti, dapat tetap normal ataupun meningkat 2 – 3 kali nilai normal. Berbeda dengan hepatitis virus yang selalu menunjukkan peningkatan bermakna SGPT dan SGOT. Kerusakan jaringan otot menyebabkan kreatinin fosfokinase juga meningkat. Peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata mencapai 5 kali nilai normal. Pada infeksi hepatitis virus tidak dijumpai peningkatan kadar enzim kreatinin fosfokinase.
b. Pemeriksaan laboratorium khusus
Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira dapat secara langsung dengan mencari kuman leptospira atau antigennya dan secara tidak melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira dengan uji serologis
1) Pemeriksaan langsung:
a) Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi kuman leptospira dalam darah, cairan prtoneal dan eksudat pleura dalam minggu pertama sakit, khususnya antara hari ke 3 – 7, dan di dalam urin pada minggu ke dua, untuk diagnosis definitif leptospirosis.
Spesimen urin diambil dengan kateter, punksi supra pubik dan urin aliran tengah, diberi pengawet formalin 10 % dengan perbandingan 1:4. Bila jumlah spesimen banyak dilakukan dua kali pemusingan untuk memperbesar peluang menemukan kuman leptospira. Pemusingan pertama dilakukan pada kecepatan rendah, misalnya 1000 g selama 10 menit untuk membuang sel, dilanjutkan dengan pemusingan pada kecepatan tinggi antara 3000 – 4000 g selama 20 – 30 menit agar kuman leptospira terkonsentrasi, kemudian satu tetes sedimen (10 -20 mL) diletakkan di atas kaca obyek bersih dan diberi kaca [penutup agar tersebar rata.
Selain itu dapat dipakai pewarnaan Romanowsky jenis Giemsa, dan pewarnaan perak yang hasilnya lebih baik dibanding Gram dan Giemsa (kuman leptospira lebih jelas terlihat).
Pewarnaan imunofluoresein lebih disukai dari pada pewarnaan perak karena kuman leptospira lebih muda terlihat dan dapat ditentukan jenis serovar. Kelebihan pewarnaan imunofluoresein dapat dicapai tanpa mikroskop fluoresein dengan memakai antibodi yang telah dilabel enzim, seperti fosfotase dan peroksidase atau logam seperti emas.
b) Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi polimerase berantai untuk deteksi DNA kuman leptospira spesifik dapat dilakukan dengan memakai primer khusus untuk memperkuat semua strain patogen. Spesimen dari 2 ml serum, 5 mL darah tanpa antikoagulan dan 10 mL urin.
C, dry°Spesimen tersebut dikirim pada suhu – 70 C dalam waktu singkat. Urin dikirim°ice, atau suhu 4 C.°pada suhu 4
c) Biakan
Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal bila darah, cairan serebrospinal, urin dan jaringan postmortem segera ditanam ke media, kemudian dikirim ke laboratorium pada suhu kamar.
d) Inokulasi hewan percobaan
Kuman leptospira virulen dapat menginfeksi hewan percobaan, oleh karena itu hewan dapat dipakai untuk isolasi primer kuman leptospira. Umumnya dipakai golden hamsters (umur 4 – 6 minggu) dan marmut muda ( 150 – 175 g), yang bukan karier kuman leptospira.
2) Pemeriksaa tidak langsung / serologi
Berbagai jenis uji serologi dapat dilihat seperti pada tabel 4.
Jenis uji serologi:
· Microscopic agglutination test (MAT) Microscopic slide agglutination test (MSAT)
· Uji carik celup:
Ø LEPTO Dipstick
Ø LeptoTek Lateral Flow Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
· Aglutinasi lateks Kering
· (LeptoTek Dri – Dot) Microcapsule agglutination test
· Indirect fluorescent antibody test (IFAT) Patoc – slide agglutination test (PSAT)
· Indirect haemagglutination test (IHA) Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)
· Uji Aglutinasi lateks Counterimmunelectrophoresis (CIE)
· Complement fixation Test (CFT)
D. Penegakkan diagnosis
Diagnosis Leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:
Suspek, bila ada gejala
· klinis, tanpa dukungan uji laboratorium. Diagnosis menurut Faine dengan menggunakan nilai skor berdasarkan gejala klinis dan data epidemiologi, sekarang tidak dianjurkan lagi, karena pasien dengan nilai skor rendah, pemeriksaan kultur dapat positif atau sebaliknya.
· Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
Definitif, bila:
1) Ditemukan kuman leptospira atau antigen kuman leptospira dengan pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan atau reaksi polimerase berantai.
2) Gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan didukung dengan hasil uji MAT serial yang menunjukkan adnya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih, atau IgM ELISA positif.
E. Diagnosis banding
Leptospirosis anikterik: influensa, demam dengue dan demam berdarah dengue, infeksi virus hanta, demam kuning, riketsiosis, boreliosis, bruselosis, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik, keracunan bahan kimia, keracunan makanan, demam tifoid dan penyakit demam enterik lain, Fever of known origin (FUO), serokonversi HIV primer, penyakit legioner, dan infeksi virus/bakteri lain.
Leptospirosis ikterik: malaria falciparum berat, hepatitis virus, demam tifus dengan komplokasi ganda, haemorrhagic fever with renal failure, demam berdarah virus lain dengan komplikasi.
VI. TERAPI
Kuman leptospira sensitif terhadap sebagian besar antibiotika, terkecuali vakomisin, rafampisin dan mitronidasol.
Pemantauan fungsi jantung perlu dilakukan pada hari pertama rawat inap dengan mencakup aspek terapi kausatif, simtomatik dan suportif.
Terapi leptospirosis ringan
1. Pemberian antipiretik, terutama apabila demmamnya melebihi 38 C.
2. Pemberian antibiotik-antikuman leptospira. Pada leptospirosis ringan diberikan terapi:
· Doksisiklin 100 mg yang diberikan 2 kaliv sehari, selama 7 hari, pada anak di atas 8 tahun: 2 mg/Kg/hari (maksimal 100 mg)
· Ampisilin 500 –v 750 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral
· Amoksisilin 500 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral.
Terapi leptospirosis berat
1. Pemberian antipiretik.
2. Pemberian Nutrisi dan cairan
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan, karena nafsu makan pasien menurun, sehingga asupan nutrisi berkurang. Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen, dengan perhitungan:
Berat badan 0 – 10 kg : 100 kalori/kgBB/hari
Berat badan 20 – 30 kg : ditambahkan 50 kalori/kgBB/hari
Berat badan 30 – 40 kg : ditambahkan 25 kalori/kgBB/hari
Berat badan 40 – 50 kg : ditambahkan 10 kalori/kgBB/hari
Berat badan 50 – 60 kg : ditambahkan 5 kalori/kgBB/hari

Karbohidrat diberikan dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein yang cukup mengandung asam amino esensial, diberikan sebanyak 0,2 – 0,5 gram/kgBB/ hari.. Pada pasien dengan muntah hebat atau tidak mau makan, diberikan makanan secara parenteral ( tersedia kemasan cairan infus yang praktis, cukup kandungan nutrisinya)
Pemberian antibiotik :
Prokain penisilin 6 – 8 juta unit sehari yang diberikan 4 kali sehari intramuskular
Ampisilin 1 gram yangv diberikan 4 kali sehari intravena
Amoksisilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena

Antibiotik pada anak:
Prokain penesilin 50.000 IU/kg BB; maksimal 2 juta IU sehari yang diberikan 4 kali sehari intramuskular
Doksisiklin pada anak >8 tahun: 2 mg/kgBB; maksimal 100 mg sehari yang diberikan 2 kali sehari per oral.
Pananganan khusus:
a. Hiperkalemia : Merupakan keadaan yang harus segera ditangani, karena menyebabkan cardiac arrest;
b. Asidosis metabolik;
c. Hipertensi: perlu diberikan anti hipertensi.;
d. Gagal jantung: pembatasan cairan, digitalis dan diuretik;
e. Perdarahan diatasi dengan transfusi.
Diagnosis is suspect (hanya didukung oleh gejala klinis&riwayat pajanan) Demam, cojunctival suffusion, nkaku&nyeri otot (betis dan paha) Ikterik, sakit kepala, menggigil, oliguria,anuria kaku kuduk,dll. Ditambah: riwayat pajanan dengan hewan/lingkungan terkontaminasi urin hewan faktor resiko transmisi leptospirosis
Diagnosis Probable: Diagnosis suspect didukung tes serologi penyaringan positif
Diagnosis is Confirmed: Peningkatan titer serial 4 atau serokonversi MAT atau ELISA IgM (+)Azotemia
VII. PENCEGAHAN
Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi yang meliputi:
1) Intervensi sumber infeksi;
2) Intervensi pada jalur penularan ;
3) Intervensi pada pejamu manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes R.I. 2003. Pedoman tatalaksanan kasus dan pemeriksaan laboratorium leptospirosis di rumah sakit. Ditjen PPM-PL Jakarta, RSPI DR SS
Faine, S. 1982. Guidelines for the control of leptospirosis. Geneva: WHO Offset Publication No. 67l
Gasem, MH. 2003. Gambaran klinik dan diagnosis leptospirosis pada manusia. Dalam: Riyanto B, Gasem MH, Sofro M AU Editor: Kumpulan makalah symposium leptospirosis. Cetakan pertama.Badan penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
bantu bikin askep

AIDS


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Virus AIDS ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan paling banyak ditemukan pada darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain juga bisa ditemukan (seperti misalnya cairan ASI) tetapi jumlahnya sangat sedikit.

Sejumlah 75-85% penularan terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar (terutama pada pemakai narkotika suntik), 3-5% melalui transfusi darah yang tercemar.
Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif (14-49 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung meningkat.

Infeksi pada bayi dan anak, 90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan oleh Ibu pengidap HIV akan menjadi pengidap HIV, melalui infeksi yang terjadi selama dalam kandungan, selama proses persalinan dan melalui pemberian ASI. Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, risiko penularan dapat dikurangi menjadi hanya 8%.
Pada awalnya dimulai dengan penularan pada kelompok homoseksual (gay). Karena diantara kelompok homoseksual juga ada yang biseksual, maka infeksi melebar ke kelompok heteroseksual yang sering berganti-ganti pasangan.
Pada tahap kedua, infeksi mulai meluas pada kelompok pelacur dan pelanggannya.
Pada tahap ketiga, berkembang penularan pada istri dari pelanggan pelacur.
Pada tahap keempat, mulai meningkat penularan pada bayi dan anak dari ibu yang mengidap HIV.


1.1  Tujuan
1. tujuan umum
      Untuk mengetahui dan mendapatkan  gambaran mengenai asuhan keperawatan pada klien dengan AQUIRED IMMUNO DEFISIENSI SINDROM (AIDS).
            2. TUJUAN KHUSUS
a)      Agar dapat memahami  pengertian dari penyakit AIDS.
b)      Agar dapat mengetahuI  penyebab dari penyakit AIDS.
c)      Agar dapat memberikan keperawatan terhadap pasien dari penyakit AIDS.
d)      Agar dapat membuat diagnosa keperawatan,intervensi,implementasi dan evaluasi dengan pasien AIDS



BAB II
TINJAUAN TEORITIS


2.1  Pengertian
AIDS
HIV adalah virus yang mengakibatkan AIDS. AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain itu penderiat aids sering kali menderita keganasan, khususnya sarkoma kaposi dan limfoma yang hanya menyerang otak.
AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus ( HIV ). ( Suzane C. Smetzler dan Brenda G.Bare )
AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and Prevention )

2.2 Etiologi Dan Faktor Resiko
HIV, yang dahulu disebut virus limfotrofik sel-T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS mempunyai lima fase:
1)      Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
2)      Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1 sampai 2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3)      Infeksi asimtomatik. Lamanya 1 sampai 15 atau lebih tahun dengan gejala gejala tidak ada.
4)      Supresi imun sistomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala deman, keringat malam hari, berat badan menurun,diare,lemah,rash,limfadenopati,lesi mulut.
5)      AIDS. Lamanya bervarisi antara 1 sampai 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.

Faktor resiko :
1.       Pria dgn homoseksual
2.       Pria dgn biseksual
3.       Pengguna IV drug
4.       Transfuse darah
5.       Pasangan heteroseksual dgn pasien infeksi HIV
6.       Anak yang lahir dgn ibu yang terinfeksi

2.3 Patofisiologis
Menginfeksi limfosit T4 dan monosit. Partikel-2 HIV bebas yang dilepas dari sel yang terinfeksi dpt berikatan dgn sel lain yang tidak terinfeksi.
Segera setalah masuk kedlm sel, enzim dalam kompleks nukleoprotein menjadi aktif dan dimulailah siklus reproduksi.
Limfosit T, monosit/makrofag adalah sel pertama yang terinfeksi.
Besar kemungkinan bahwa sel dendritik berperan dalam penyebabaran HIV dalam jaringan limfoid.fungsi sel dendritik menangkap antigen dalam epitel lalu masuk melalui kontak antar sel. Dalam beberapa hari jumlah virus dalam kelenjer berlimpat ganda dan mengakibatkan virena. Pada saat itu julah virs dalam darah infeksi akut.
Viremia menyebabkan virus menyebar diseluruh tubuh dan menginfeksi sel T, monosit maupun makrofag dlm jaringan limfoid perifer.
Sistem immun spesifik akan berupaya mengendalikan infeksi    yang nampak dari menurunnya kadar viremia.
Setelah infeksi akut, berlangsung fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limfa merupakan tempat replikasi virus dan dekstruksi jaringan secara terus menerus ® fase laten.
Destruksi sel T dlm jaringan limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel T makin lama makin menurun (jml sel T dlm jaringan limfoid 90 % dari jml sel T diseluruh tubuh)
Selama masa kronik progresif,m respon imun thdp infeksi lain akan meransang produksi HIV  dan mempercepat dekstruksi sel T, selanjutnya penyakit bertambah progresif dan mencapai fase letal yang disebut AIDS.
1)       Viremis meningkat drastis karena karena replikasi virus di bagian lain dalam tubuh meningkat ® pasien menderita infeksi oportunistik, cacheksia, keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat.
2)       Kehilangan limfosit Th menyebabkan pasien peka thdp berbagai jenis infeksi dan menunjukkan respon immune yang inefektif thdp virud onkogenik.
 Masa inkubasi diperkirakan bervariasi → 2 – 5 tahun




2.4 Manifestasi Klinik
1)      Manifestasi klinis AIDS menyebar luas dan pada dasarnya mengenai setiap sistem organ.
2)      Pneumonia disebabkan o/ protozoa pneumocystis carini (paling sering ditemukan pd AIDS) sangat jarang mempengaruhi org sehat. Gejala: sesak nafas, batuk-batuk, nyeri dada, demam – tdk teratasi dapat gagal nafas (hipoksemia berat, sianosis, takipnea dan perubahan status mental).
3)      Gagal nafas dpt terjadi 2 – 3 hari
4)      Tbc
5)      Nafsu makan menurun, mual, muntah.Diare merupakan masalah pd klien AIDS → 50% – 90%
6)      Kandidiasis oral – infeksi jamur
7)      Bercak putih dalam rongga mulut → tdk diobati dpt ke esophagus dan lambung.
8)      Wasthing syndrome → penurunan BB/ kaheksia (malnutrisi akibat penyakit kronis, diare, anoreksia, amlabsorbsi gastrointestinal)
9)      Kanker : klien AIDS insiden lebih tinggi → mungkin adanya stimulasi HIV thdp sel-2 kanker yang sedang tumbuh atau berkaitan dng defesiensi kekebalan →  mengubah sel yang rentang menjadi sel maligna.
10)  Sarcoma kaposis → kelainan maligna berhubungan dgn HIV (paling sering ditemukan) → penyakit yang melibatkan endotel pembuluh darah  dan linfe. Secara khas ditemukan sebagai lesi pd kulit sebagian tungkai terutama pada pria. Ini berjalan lambat dan sudah diobati. Lokasi dan ukuran lesi dpt menyebabkan statis aliran  vena, limfedema serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak intergritas kulit dan meningkatkan ketidak nyamanan serta kerentanan thdp infeksi.
11)  Diperkirakan 80 % klien AIDS mengalami kalianan neurologis → gangguan pd saraf pusat, perifer dan otonom. Respon umum pada sistem saraf pusat mencakup inflamasi, atropi, demielinisasi, degenerasi dan nekrosis.
12)  Herpes zoster → pembentukan vesikel yang nyeri pada kulit.
13)  Dermatitis seboroik→ruam yang difus, bersisik yang mengenai kulit kepala dan wajah.
14)  Pada wanita: kandidiasis vagina → dapat merupakan tanda pertama yang menunjukkan HIV pad a wanita.

2.5 Komplikasi
Berikut komplikasi klien dengan AIDS:
a. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
b. Neurologik
1.Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
2.Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
3.Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
4.Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)
c. Gastrointestinal
1.Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
2.Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
3.Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
f. Sensorik
1.   Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
2.   Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.
2.6 Penatalaksanaan Medis
1)       Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV perlu dilakukan. Pencegahan berarti tdk kontak dgn cairan tubuh yang tercemar HIV.
2)       Pengobatan pd infeksi umum
3)       Penatalaksanaan diare
4)       Penatalaksanaan nutrisi yang adekuat
5)       Penanganan keganasan
6)       Terapi antiretrovirus
7)       Terapi alternative : terapi spiritual, terapi nutrisi, terapi obat tradisional, terapi tenaga fisik dan akupungtur, yoga, terapi massage, terapi sentuhan.

2.7 Manajemen Diet
a.    Menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
b.   Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).



BAB lll
ASUHAN KEPERAWATAN AIDS

3.1  Pengkajian
  1. Aktifitas /istirahat :
·         Mudah lelah, berkurangnya tolerangsi terhdp aktifitas, kelelahan yang progresif
·         Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi terhdp aktifitas
2.   Sirkulasi
·         Proses penyembuhan lika yang lambat, perdarahan lama bila cedera
·         takikardia, perubahan tekanan darah postural, volume nadi periver menurun, pengisian kapiler memanjang
3.   Integritas ego
·         Faktor stress yang berhubungan dgn kehilangan: dukungan keluarga, hubungan dgn org lain, pengahsilan dan gaya hidup tertentu
·         Menguatirkan penampilan: alopesia, lesi , cacat, menurunnya berat badan
·         Merasa tdk berdaya, putus asa, rsa bersalah, kehilangan control diri, dan depresi
·         Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah, menangis, kontak mata kurang
4.   Eliminasi.
·         Diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih
·         Faeces encer disertai mucus atau darah
·         Nyerio tekan abdominal, lesi pada rectal, perubahan dlm jumlah warna urin.
5.   Makanan/cairan :
·         Tidak ada nafsu makan, mual, muntah
·         Penurunan BB yang cepat
·         Bising usus yang hiperaktif
·         Turgor kulit jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna mucosa mulut
·         Adanya gigi yang tanggal. Edema


6.  Hygiene
·         Tidak dapat menyelesaikan ADL, memepeliahtkan penampilan yang tdk rapi.
7.  Neurosensorik
·         Pusing,sakit kepala.
·         Perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan sensasi
·         Kelemahan  otot, tremor, penurunan visus.
·         Bebal,kesemutan pada ekstrimitas.
·         Gayaberjalan ataksia.
8.  Nyeri/kenyamanan
·         Nyeri umum/local, sakit, rasaterbakar pada kaki.
·         Sakit kepala, nyeri dada pleuritis.
·         Pembengkakan pada sendi, nyeri kelenjar, nyeri tekan, penurunan ROM, pincang.
9.  Pernapasan
·         Terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk produktif/non,
sesak pada dada, takipnou, bunyi napas tambahan, sputum kuning.
10.  Keamanan
·         Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, lauka lambat proses penyembuhan
·         Demam berulang
11. Seksualitas
·         Riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido, penggunaan kondom yang tdk konsisten, lesi pd genitalia, keputihan.
12. Interaksi social
·         Isolasi, kesepian,, perubahan interaksi keluarga, aktifitas yang tdk terorganisir
3.2 Diagnosa Keperawatan
  1. Infeksi, risiko tinggi terhadap ( progresi menjadi sepsis / awitan infeksi  oportunistik )
  2. Kekurangan volume cairan, risiko tinggi  terhadap dearea berat, berkeringat, muntah, status hipermetabolism, demam.
  3. Pola napas, tidak efektif/ perubahan pertukaran gas, kerusakan, risiko tinggi terhadap ketidakseimbangan muskuler ( melemahnya otot- otot pernafasan, penurunan energi/ kepenatan, penurunan ekspansi paru ).
  4. Cedera, risiko tinggi terhadap, perubahan faktor pembekuan
  5. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan atau perubahan pada kemampuan untuk mencerna, mengunyah.
  6. Nyeri, ( akut)/kronis berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan : infeksi, lesi kutaneus internal/ eksternal, ekskoriasi rektal, penularan, dan nekrosis.
  7. Integritas kulit dapat dihubungkan dengan defisit imunologis, AIDS dihubungkan dengan radang, infeksi virus, bakteri dan jamur.
  8. Membran mukosa oral dapat dihubungkan dengan defisit imunologis dan timbulnya lesi penyebab patogen.


III.Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
Infeksi, risiko tinggi terhadap ( progresi menjadi sepsis infeksi oportunistik)
Mengidentifikasi/ ikut serta dalam perilaku yang menguragi resiko infeksi.
Mencapai masa penyembuhan luka/ lesi.
1.    Cuci tangan sebelum dan sesudah seluruh kontak perawatan dilakukan
2.    Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik
3.    Pantau tanda- tanda vital.




4.    Kaji frekuensi pernafasan, perhatukan batuk spasmodik kering pada inspirasi dalam.
1.     Mengurangi risiko kontaminasi silang.


2.     Mengurangi patogen pada sistem imun.

3.     Meningkatkan kerjasama dengan cara hidup dan berusaha mengurangi rasa terisolasi.
4.     Memberikan informasi data dasar.
Pola napas tidak efektif/  perubahan pertukaran gas kerusakan, risiko tinggi terhadap ketidakseimbangan muskuler( melemahny otot- otot pernapasan.
Mempertahan pola pernpasan efektif. Tidak mengalami sesak napas/ sianosis, dengan bunyi napas dan sinar x bagian dada yang bersih.
1.    Auskultasi bunyi napas
2.    Catat kecepatan/ kedalaman pernapasan.
3.    Tinggikan kepala ditempat tidur, usahakan pasien untuk berbalik, batuk, menarik napas
1.    Memperkirakan adanya perkembangan komplikasi/ infeksi.
2.    Takipnea, sianosis, tak dapat beristirahat, dan peningkatan napas menunjukkan kesulitan pernapasan.
3.    Meningkatkan fungsi pernapasan yang optimal.
Cidera risiko tinggi terhadap perubahan faktor pembekuan berhubungan dengan penurunan absorbsi vitamin K, perubahan pada fungsi hepar, munculnya antibodi antiplatelet autoimun
Menunjukkan homeostasis yang ditunjukkan dengan tidak adanya perdarahan mukosa dan bebas dari ekimosis.
1.    Lakukan pemeriksaan darah pada cairan tubuh untuk mengetahui adanya darah pada urine, feses, dan cairan muntah.

2.    Amati/ laporkan apitaksis, hemoptisis, hematuria, perdarahan vaginal non-menstruasi.


3.    Pantau perubahan tanda- tanda vital dan warna kulit, mis: tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, pucat kulit dan perubahan warna.
4.    Hindari injeksi IM, pengukuran suhu rektal/ supositoria, selang rektal.
1.     Mempercepatkan deteksi adanya perdarahan/ penentual awal dari terapi mungkin dapat mencegah perdarahan kritis.
2.     Perdarahan spontan mengindikasikan perkembangan KID atau trombositopenia imun.
3.     Timbulnya perdarahan atau hemoragi dapat menunjukkan kegagalan sirkulasi/ syok.
4.     Perubahan dapat menunjukkan adanya perdarahan otak.
Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh dapat dihubungakan dengan ketidakmampuan atau perubahan pada kemampuan untuk mencerna, mengunyah dan nutrisi metabolisme mual, refleks gangguan hiperaktif.
Mempertahankan berat badan atau memperlihatkan peningkatan berat badan yang mengacu pada tujuan yang di inginkan.
Mendemonstrasikan keseimbangannitrogen positif.
1.    Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan, dan menelan.





2.    Auskultasi bising usus.



3.    Timbang berat badan sesuai kebutuhan.

4.    Hilangkan rangsang lingkungan yang berbahaya atau kondisi yang memperburuk refleksi gangguan.
1.     Lesi mulut, tenggorok dan esofagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien untuk mengolah makanan.
2.     Hipermotilitas saluran intestinal umum terjadi dan dihubungkan dengan muntah dan diare yang dapat mempengaruhi pilihan diet atau cara makan.
3.     Indikator kebutuhan nutrisi yang adekuat.
4.     Mengurangi stimulus pusat muntah di medula.
Nyeri, (akut) atau kronis dapat dihubungkan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan infeksi, lesi kutaneus internal atau eksternal.
Keluhan hilangnya atau terkontrolnya rasa sakit
Menunjukkan posisi atau ekspresi wajah rileks
Dapat beristirahat adekuat.
1.    Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas, frekuensi, dan waktu.
2.    Dorong pengungkapan perasaan.
3.    Berikan aktivitas hiburan
4.    Lakukan tindakan paliatif.


5.    Berikan kompres hangat / lembab pada sisi injeksi pentamidin/IV selama 20 menit setelah pemberian.
1.    Mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi.


2.    Dapat mengurangi ansietas dan rasa takut.
3.    Memfokukan kembali perhatian.
4.    Meningkatkan relaksasi atau menurunkan tegangan otot.
5.    Injeksi ini diketahui sebagai penyebab rasa sakit.
Integritas kulit, kerusakan aktual risiko tinggi terhadap defisit imunologis, AIDS dihubungkan dengan radang, infeksi virus, bakteri, dan jamur.
Menunjukkan tingkah laku/ teknik untuk mencegah kerusakan kulit dan meningkatkan kesembuhan.
1.    Kaji kulit setiap hari, catat warna, turgor, sirkulasi, dan sensasi.




2.    Pertahankan dalam higiene kulit.



3.    Secara teratur ubah posisi, ganti seprai sesuai kebutuhan.


4.    Pertahankan seprai bersih, kering dan tidak berkerut.

1.    Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
2.    Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
3.    Mengurangi stres pada titik tekanan, meningkatkan aliran darah ke jaringan.
4.    Friksi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang menyebabkan iritasi dan potensial terhadap infeksi.
5.    Menurunkan tekanan pada kulit dri istirahat lama di tempat tidur.
Membran mukosa oral, perubahan berhubungan dengan defisit imunologis dan timbulnya lesi penyebab patogen.
Menunjukkan membran mukosa utuh, berwarna merah jambu, basah, dan bebas dari inflamasi.
1.    Kaji membran mukosa / catat seluruh lesi oral.




2.    Berikan perawatan oral setiap hari dan setelah makan.



3.    Cuci lesi mukosa oral dengan menggunakan hidrogen peroksida/salin atau larutan soda kue.
4.    Anjurkan permen karet atau permen yang tidak mengandung gula.

5.    Rencanakan diet untuk menghindari garam, pedas, gesekan, dan makanan/ minuman yang asam.

1.     Edema, lesi, membran mukosa oral dan tenggorok kering menyebabkan rasa sakit dan sulit mengunyah.
2.     Mengurangi rasa tidak nyaman.




3.     Mengurangi penyebaran lesi dan krustasi.




4.     Merangsang saliva untuk menetralkan asam dan melindungi membran mukosa.
5.     Makanan yang pedas  akan membuka lesi yang telah disembuhkan.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
          Berdasarkan pembahasan dalam bab “ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME” maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :

1.    HIV adalah virus yang mengakibatkan AIDS. AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV.
2.      AIDS. Lamanya bervarisi antara 1 sampai 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
3.      Faktor risiko meliputi, Pria dgn homoseksual, pria dengan biseksual, pengguna IV drug, tranfusi darah, pasangan heteroseksual dengan pasangan infeksi HIV, anak yang lahir dengan ibu terinfeksi.

4.2.    Saran

     Bagi yang sudah terkena tanda dan gejala diatas segeralah diperiksakan pada dokter atau tempat pelayanan terdekat supaya segera dapat diatasi.






DAFTAR PUSTAKA

Bruner, Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3. Jakarta : EGC. 2002
Doenges, M. E. Marilyn Frances Moorhouse & Alice C. Geissler. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Sarwono, Sarlito Wirawan. ?Aspek Psikososial AIDS? diambil pada 10 Maret 2008 dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_AspekPsikososialAids.pdf/12_AspekPsikososialAids.html
Sudoyo, Aru W.(2006) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Susiloningsih, Agus. ?AIDS: Aspek Klinis, Permasalahan dan Harapan? diambil pada 20 Februari 2008 dari http://fkuii.org/tiki-index.php?page=halaman2